Siang tadi adik saya ditilang oleh polisi pertigaan UIN Yogyakarta. Menurut versi polisi, adik saya ini melanggar lampu lalu lintas. Tapi kalau menurut versi adik saya, dia sama sekali tak melanggar karena lampunya masih kuning.
Berikut kuceritakan kronologi menurut versi my sister yes.
Adik saya dikejar dan diberhentikan lajunya oleh polisi di depan hotel Saphir Jogja. Tadinya adik saya itu baru dari kampus di daerah babarsari. Di sana si polisi bilang kalau adikku melanggar. Seperti biasa, polisi mau melihat surat-surat. Waktu itu adikku tetap menolak kalau dia melanggar. Karena surat-surat sudah di tangan, si polisi tak mau banyak bicara. Dia pun mengajak adikku ke pos polisi sambil bilang, “Silakan nanti dijelaskan di pos polisi”.
Kalau ajakannya seperti itu, saya pun akan punya persepsi kalau di pos polisi nanti saya bisa melakukan pembelaan diri. Tapi mungkin kamu yang sudah pernah mengalami kejadian semacam ini pasti akan tahu faktanya seperti apa.
Masih menurut versi adik saya. Di pos polisi dia sudah langsung dicecar dengan pernyataan dan tuduhan oleh polisi yang (mungkin) tidak melihatnya melaju di depan UIN.
“Pak, saya kan ngga melanggar apa-apa. Wong lampunya masih kuning.” kata adik saya.
“Kuning kepiye… merah..!” sahut si polisi dengan nada lumayan tinggi.
Singkat cerita, adik saya sama sekali tak bisa melakukan pembelaan karena menurut versi polisi, dia sudah pasti melakukan pelanggaran dan dikenai tilang. Di dalam pos polisi ada 3 polisi. Saya yakin sebagian besar orang, terlebih wanita akan merasa “terintimidasi” jika si polisi berbicara dengan nada tinggi dan seolah memaksa. Belum lagi dia disuruh menandatangai surat tilang yang sebenarnya tidak pantas untuk diterimanya. Dengan menandatangani, itu artinya adik saya otomatis mengakui kalau dirinya bersalah. Siapa yang tahu tentang hal ini? Si penindak pun tidak pernah memberi informasi. Adik saya pun harus menghadiri sidang di pengadilan Sleman.
Itu tadi cerita versi adik saya. Selanjutnya adalah cerita pengalaman saya. Otomatis menurut versi saya.
Sesampainya di rumah, adik saya itu cerita kalau habis ditilang. Karena merasa ngga salah, dia santai saja. Malah dia tanya letak di mana lokasi pengadilan Sleman.
Saya gemes. Kok masih ada OKNUM POLISI yang seperti ini. Dengan GAGAH, saya pun datang ke pos itu untuk mengkonfirmasi. Saya tak bertujuan meminta STNK adik saya kembali ataupun membatalkan sidang. Saya ke sana karena gemes. Tujuan saya adalah ingin tahu sebenarnya benar ngga sih penindakan yang dilakukan? Bagaimana sih pola pikir para OKNUM itu? Dan lagi saya ingin sampai si polisi mengakui kalau dia salah menindak.
Saatnya praktik! Apakah ini saya lakukan dengan semena-mena dan mentang-mentang? Nggak! Kali ini saya punya kepentingan karena ada pihak yang saya anggap sudah merugikan pihak saya dan adik saya.
“Selamat siang, nama saya Inunk. Saya berbicara dengan saudara siapa?” ini adalah ucapan yang terlontar pertama saat datang ke sana. Saya langsung bertanya nama karena dari ketiga polisi itu tak ada satu pun yang memasang namanya di rompi hijau khas polisi.
“Saya datang ke sini mau mengkonfirmasi tentang kesalahan adik saya. Apa kesalahannya?”
Dengan kepala tegak, si polisi menjawab “Adik Anda dikenai pasal sekian (saya lupa pasalnya) tentang ketertiban berlalu-lintas. Ada pelanggaran rambu.”
Saya balas dengan cepat, “oh, pelanggaran? Lampu apa yang dilanggar?”
“Anda kan orang berpendidikan, kalau melanggar itu lampu apa?” Sahutnya dengan agak bernada tinggi.
“Setahu saya, pelanggaran itu hanya lampu merah.”
“Nah itu, tahu.”
“Apa bener, dik?” Saya langsung konfirmasi ke adik saya.
Adik saya melakukan pembelaan. Dia tetap bilang kalau lampunya masih kuning. Saat itu pun dia tidak ngebut. Justru semakin pelan karena tahu lampunya kuning. Karena pas lampu menyala kuning posisi adik saya sudah hampir sampai di ujung lampu traffic light maka pasti laju kendaraannya masih sangat mungkin melewatinya. Lampu masih kuning. Logikanya, lampu kuning berjalan sekian atau sepersekian detik. Kalau misal posisi adik saya masih agak jauh, ya pasti wajib untuk sangat melambat dan menunggu lampu merah. Lha kalau pas lampu kuning, posisi adik saya sudah sampai di ujung batas lampu, gimana? Ini logikanya.
Dimulai dari sini, saya menemukan banyak kejanggalan. Tentu kesimpulan saya ini saya sampaikan atas dasar keilmuan yang saya pelajari; lie detector dan NLP. Tanpa melihat kejadiannya secara langsung, saya yakin kalau adik saya memang tidak bersalah.
Polisi yang mengejar adik saya tampak sangat ragu atas tindakannya. Saya tanya beberapa hal, dia juga menyampaikan beberapa hal yang berbeda. Sempat bilang kalau dia hanya melihat yang melanggar hanya adik saya. Tak ada orang lain lagi yang melanggar. Sempat pula bilang kalau sebenarnya ada yang lain, tapi dia hanya mampu menindak satu orang saja. Bola matanya bergerak berputar-putar. Bicaranya gagap. Ekspresi mikro yang tampak dari wajahnya semakin menandakan ada banyak keraguan darinya. Saat saya ajak reka ulang, dia tidak berani ngomong banyak. Bahkan malah pamit mau menjalankan sholat. Pas saya cek keluar, ternyata dia nggak sholat. Dia malah mainan HP di tempat yang agak jauh dari pos.
Polisi lainnya saya tanyai tentang kejadiannya. Dia tidak yakin pas kejadian ada di mana. Ada yang mengaku di tempat A, sesaat kemudian saya tanya ulang, dia menjawab ada di tempat B. Beberapa saat setelah itu saya tanya ulang, dia ada di tempat C. Saya mengkalibrasi jawabannya.
Polisi satunya saya tanya tentang peraturan lalu lintas. Polisi yang ini yang paling saya ingat. Badannya gemuk, tapi agak pendek. Kulitnya hitam, mukanya berminyak. Nada bicaranya agak tinggi saat bicara sama saya. Dia adalah orang yang menilang adik saya.
Meski nada bicaranya tinggi, dia tak mau memandang ke arah saya. Dia seolah mengalihkan pandangan ke ponselnya. Saya anggap dia pura-pura sibuk dengan ponselnya. Pertanyaan demi pertanyaan saya ajukan, dia kesulitan menjawab karena mungkin tidak menguasai materi. Saya pasti bertanya banyak karena menurutnya, kalau polisi sudah menilang itu artinya adik saya sudah pasti melakukan pelanggaran.
Dengan kata lain, polisi yang menindak pasti benar. Pernyataan ini saya simpulkan berdasarkan obrolan kami tadi.
Hhhmm memangnya materi apa yang saya tanyakan kok sampai dia seolah nggak menguasai materi? Tentang peraturan lalu lintas, prosedur penindakan, proses tilang, dan proses sidang.
Sebagian besar jawabannya adalah:
“Silakan ditanyakan di pengadilan.”
“Itu hak Anda.”
“Kami hanya melakukan penindakan berdasarkan bukti pelanggaran.”
Jawaban ketiga itu yang lalu menarik untuk saya tanggapi,
“Bukti? Apa buktinya?”
Dia tak bisa menjawab dengan lancar. Saya anggap jawabannya itu mengada-ada. Ya, banyak hal yang perlu saya tanyakan karena selama ini saya belum pernah tahu ada orang yang bisa bebas ketika dihadapkan di persidangan. Silakan koreksi saya jika salah. Anggap saja saya yang belum tahu. Ketika kita (dianggap) tak berhak melakukan pembelaan di hadapan polisi penilang, apakah bisa kita melakukan pembelaan di persidangan? Dari pengalaman saya, kita tak bisa melakukan pembelaan di persidangan. Ada banyak faktor kenapa kita tidak bisa melakukan pembelaan di persidangan.
Pertama, saat mendapatkan surat tilang, biasanya kita sudah bertanda tangan di atas surat tilang tersebut. Itu artinya kita sudah mengakui kesalahan. Jangan percaya dengan kabar kalau kita tidak mengakui kesalahan lalu minta slip biru ya. Itu HOAX. Slip biru itu kita memang bisa membayar ke BRI, tapi bukan dengan transfer. Justru kita harus bayar ke bank yang sudah ditunjuk. Nominalnya pun lebih besar karena pasti akan dikenai denda maksimal. Dengan bertanda tangan, itu artinya kita sudah mengakui kesalahan. So, kalau tidak mau mengakui kesalahan ya ngga usah mau tanda tangan.
Kedua, hakim punya kuasa untuk bilang “Kamu ini salah kok masih mau membela diri. Mau menerima atau saya tilang dengan denda maksimal?” Tentu tidak semua hakim yang akan bilang seperti itu.
Huft. Panjang juga ya.
Masih ada cerita lanjutannya. Setelah ketiga polisi muda yang ada di dalam pos tadi, saya menemui polisi yang lebih senior. Berdasar informasi dari si polisi gemuk dan hitam tadi, polisi senior ini adalah petugas dari Polda DIY. Anehnya, ketiga polisi muda tadi ngga tahu siapa nama polisi senior yang kebetulan bertugas bersamaan di satu lokasi. Ya mungkin nggak harus selalu kenal karena memang personil polisi juga sangat banyak. Tapi kan waktu itu mereka sedang bertugas bersama dalam satu lokasi. Mosok sama sekali nggak tahu namanya. Bagi saya itu aneh, tapi bagi mereka hal itu wajar.
Saya ngobrol banyak dengan si polisi senior. Pada akhirnya dia mengakui banyak hal bahwa ada banyak kelemahan di kepolisian, terlebih di bidang lalu lintas. Itulah sebabnya kita tak bisa lagi “bayar di tempat”, baik yang resmi maupun yang ilegal. Kalau dulu bisa “titip sidang”, sekarang sudah tak lagi bisa. “Kalau ada yang masih minta bayar di tempat atau titip sidang, silakan dilaporkan saja mas.”
Akhirnya sempat ada keraguan darinya atas kebenaran penindakan yang dilakukan rekannya. Tapi karena surat tilang sudah terlanjur ditandatangani, dia sudah tak bisa berbuat banyak. Dia menyarankan, besok lagi kalau kita tidak merasa salah ya jangan mau tanda tangan. Urus dan proses sampai selesai di pos polisi atau di lokasi razia.
Di ujung percakapan kami, dia pun minta maaf. Tujuan saya sudah tercapai. Saya pun pulang dengan hati gembira.
Yup. Adik saya harus menghadiri sidang. Tenang, dik. Sidangnya nggak lama kok. Paling nggak sampai satu menit. Yang lama hanya antrenya saja. Nanti kalau namamu udah dipanggil dan disuruh duduk di kursi dan hakim cuma baca putusan. Setelah itu kamu tinggal bayar di loket ataupun tempat yang sudah disiapkan.
Adik saya lalu menanggapi dengan nada mangkel “Kuwi sidang apa e?”
Saya hanya ketawa lalu mbatin. Ya memang seperti itu faktanya.
Apakah ada dari Anda yang pernah bisa bebas setelah sidang tilang?